BAB I. PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Salah satu dari berbagai
masalah filsafat yang harus dihadapi konselor adalah bagaimana konselor
menggunakan landasan filosofis sehubungan dengan perannya sebagai orang yang
membantu orang lain (klien) dalam melakukan pilihan dan kebebasan, serta
sebagai pembentuk tingkah laku individu dalam hubungannya dengan orang lain.
Pengkajian landasan filsofis bimbingan dan konseling ini difokuskan kepada
pembahasan mengenai (1) makna, fungsi, dan prinsip-prinsip filosofis; dan (2)
hakikat manusia.
Pendekatan
bimbingan dan konseling yang terintegrasi di dalamnya dimensi agama, ternyata
sangat disenangi oleh masyarakat Amerika dewasa ini. Kondisi ini didasarkan
kepada hasil polling Gallup pada tahun 1992 yang menunjukkan:
1. Sebanyak
66% masyarakat menyenangi konselor yang profesional, yang memiliki nilai-nilai
keyakinan dan spiritual.
2. Sebanyak
81% masyarakat menyenangi proses konseling yang memperhatikan nilai-nilai
keyakinan (agama)
Agar
perkembangan anak didik itu dapat berlangsung dengan baik, dan terhindar dari
munculnya masalah-masalah psikologis, seperti terwujud dalam perilaku
menyimpang atau bersifat infantilitas (kekanak-kanakan). Maka mereka perlu
diberikan bantuan yang sifatnya pribadi. Bantuan yang dapat memfalitasi
perkembangan peserta didik melalui pendekatan psikologis adalah layanan
bimbingan dan konseling. Bagi konselor memahami aspek-aspek psikologis pribadi
klien merupakan tuntutan yang mutlak,
sehingga mereka memiliki pencerahan diri dan mampu memperoleh kehidupan
yang bermakna baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah
Landasan Filosofis ?
2. Bagaimanakah
Landasan Religius ?
3. Bagaimanakah
Landasan Psikologis ?
C.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui Landasan Filosofis.
2. Untuk
mengetahui Landasan Religius.
3. Untuk
mengetahui Landasan Psikologis.
BAB II. PEMBAHASAN
A.
LANDASAN
FILOSOFIS
1. Makna, Fungsi, dan
Prinsip-prinsip Filosofis Bimbingan dan Konseling
Kata filosofis atau filsafat adalah bahasa arab
yang berasal dari kata yunani: filosofia (philosophia). Dalam bahasa
yunani kata filosofia itu merupakan kata majemuk yang terdiri atas filo
(philos) dan sofia (shopos). Filo artinya cinta dalam arti
yang seluas-luasnya, yaitu ingin mengetahui segala sesuatu. Sementara sofia artinya kebijaksanaan atau hikmah.
Dengan demikian, filsafat itu artinya cinta kepada kebijaksanaan atau hikmah;
atau ingin mengerti segala sesuatu dengan mendalam.
Sepanjang masa manusia selalu bertanya-tanya
tentang makna atau hakikat segala sesuatu, termasuk hakikat dirinya sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan itu seperti: Apakah makna hidup itu? Dari mana asal
manusia, dan kemana perginya? Siapakah saya (manusia) ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mudah untuk dijawab, karena menyangkut misteri
hidup, yang tetap merupakan teka-teki bagi manusia.
Mempelajari filsafat tidak hanya sebatas
memikirkan sesuatu sebagai perwujudan dari hasrat atau keinginan untuk
mengetahui sesuatu (curiosity), melainkan memang filsafat mempunyai
fungsi dalam kehidupan manusia, yaitu bahwa (1) setiap manusia harus mengambil
keputusan atau tindakan, (2) keputusan yang diambil adalah keputusan diri
sendiri, (3) dengan berfilsafat dapat mengurangi salah paham dan konflik, dan
(4) untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan dunia yang selalu berubah.
Dengan berfilsafat seseorang akan memperoleh wawasan atau cakrawala pemikiran
yang luas sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat. Keputusan tersebut
mempunyai konsekuensi tertentu yang harus dihadapi secara penuh tanggung jawab.
Menghadapi resiko sebagai rasa tanggung jawab bukan berdasar suatu paksaan,
melainkan lahir dari kesadaran akan nilai kemanusiaan yang melekat pada
dirinya, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab akan
perbuatan atau tindakannya sendiri. Orang yang mencintai hikmah atau berpikir
yang bijaksana (orang yang berfilsafat) dalam mengambil suatu keputusan akan
senantiasa didasarkan kepada pertimbangan yang matang untuk menemukan sesuatu
yang dipandang baik atau bermakna bagi diri sendiri atau orang lain. Oleh karena
itu, keputusan yang diambilnya akan terhindar dari kemungkinan konflik dengan
pihak lain, bahkan sebaliknya dapat mendatangkan kenyamanan atau kesejahteraan
hidup bersama, walaupun berada dalam iklim kehidupan yang serba kompleks.
Pembahasan tentang makna dan fungsi filsafat di
atas dalam kaitannya dengan layanan bimbingan dan konseling, Prayitno dan Erman
Amti (2003: 203-204) mengemukakan pendapat Belkin (1975) yaitu bahwa “Pelayanan
bimbingan dan konseling meliputi kegiatan atau tindakan yang semuanya diharapkan
merupakan tindakan yang bijaksana. Untuk itu diperlukan pemikiran filsafat
tentang berbagai hal yang tersangkut-paut dalam pelayanan bimbingan dan
konseling. Pemikiran dan pemahaman filosofis menjadi alat yang bermanfaat bagi
pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, dan bagi konselor pada
khususnya, yaitu membantu konselor dalam memahami situasi konseling dan dalam
mengambil keputusan yang tepat. Di samping itu pemikiran dan pemahaman
filosofis juga memungkinkan konselor menjadikan hidupnya sendiri lebih mantap,
lebih fasilitatif, serta lebih efektif dalam penerapan upaya pemberian
bantuannya.
John. J. Pietrofesa et.al.I (1980: 30-31)
mengemukakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang terkait dengan landasan
filosofis dalam bimbingan, yaitu sebagai berikut.
Objective Viewing. Dalam hal ini konselor
membantu klien agar memperoleh suatu perspektif tentang masalah khusus yang
dialaminya, dan membantunya untuk menilai atau mengkaji berbagai alternatif
atau strategi kegiatan yang memungkinkan klien mampu merespon interes, miat,
atau keinginannya secara konstruktif. Seseorang akan berada dalam dilema
apabila dia merasa tidak mempunyai pilihan. Melalui layanan bimbingan,
seseorang (klien) akan dapat menggali atau menemukan potensi dirinya,
dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan baru
yang dialaminya
The Counselor must have the best interest of
client at heart. Dalam hal ini konselor harus merasa puas dalam membantu
klien mengatasi masalahnya. Konselor menggunakan keterampilannya untuk membantu
klien dalam upaya mengembangkan keterampilan klien dalam mengatasi masalah (coping)
dan keterampilan hidupnya (life skills).
John J. Pietrofesa et.al. (1980)
selanjutnya mengemukakan pendapat James Cribbin tentang prinsip-prinsip filosofis
dalam bimbingan itu sebagai berikut.
a. Bimbingan hendaknya didasarkan kepada pengakuan akan kemuliaan dan harga
diri individu (klien)
dan atas hak-hkanya untuk mendapat bantuan.
b. Bimbingan merupakan proses pendidikan yang
berkesimambungan. Artinya bimbingan merupakan bagian integral dalam pendidikan.
c. Bimbingan harus respek terhadap hak-hak setiap klien yang
meminta bantuan atau pelayanan.
d. Bimbingan bukan prerogatif kelompok khusus profesi
kesehatan mental. Bimbingan dilaksanakan melalui kerjasama, yang masing-masing
bekerja berdasarkan keahlian atau kompetensinya sendiri.
e. Fokus bimbingan adalah membantu individu dalam
merealisasikan potensi dirinya.
f. Bimbingan merupakan elemen pendidikan yang bersifat
individualisasi, personanlisasi, dan sosialisasi.
2.
Hakikat
Manusia
Pada uraian berikut dipaparkan beberapa pendapat
para ahli atau mazhab konseling tentang hakikat manusia.
a.
Viktor
E.Frankl (Prayitno dan Erman Amti, tt: 207-208) mengemukakan
bahwa hakikat manusia itu sebagai berikut.
1)
Manusia, selain memiliki
dimensi fisik dan psikologis, juga memiliki dimensi spiritual. Ketiga dimensi
itu harus dikaji secara mendalam apabila manusia itu hendak dipahami dengan
sebaik-baiknya. Melalui dimensi spiritualnya itulah manusia mampu mencapai
hal-hal yang berada diluar dirinya dan mewujudkan ide-idenya.
2)
Manusia adalah unik,
dalam arti bahwa manusia mengarahkan kehidupannya sendiri.
3)
Manusia adalah bebas
merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang
menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah
dan menentukan siapa sebebnarnya diri manusia itu dan akan menjadi apa manusia
itu sendiri.
b.
Sigmund
Freud mengemukakan sebagai berikut.
1)
Manusia pada dasarnya
bersifat pesimistik, determinitistik,
mekanistik, dan reduksionistik.
2)
Manusia dideterminasi
oelh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak sadar, drongan-dorongan
biologis, dan pengalaman masa kecil.
3)
Dinamika kepribadian
berlangsung melalui pembagian enerji psikis kepada Id, Ego, dan Superego yang
bersifat saling mendominasi.
4)
Manusia memiliki
naluri-naluri seksual (libido seksual) dan agresif; naluri kehidupan (eros)
dan kematian (tanatos).
5)
Manusia bertingkah laku
dideterminasi oleh hasrat memperoleh kesenangan dan menghindari rasa sakit (pleasure
principle).
3.
Tujuan
dan Tugas Kehidupan
Secara naluriah manusia memiliki kebutuhan untuk
hidup bahagia, sejahtera, nyaman, dan menyenagkan. Secara ekstrim, Freud
mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu mengejar kenikmatan (pleasure
primciple) dan menghindar dari rasa sakit (kondisi yang tidak menyenagkan).
Prayitno dan Erman Amti (2002: 10-13)
mengemukakan model Witner dan Sweeney tentang kebahagiaan dan kesejahteraan
hidup serta upaya mengembangkan dan mempertahankan sepanjang hayat. Menurut
mereka, ciri-ciri hidup sehat sepanjang hayat itu ditandai dengan lima kategori
tugas kehidupan, yaitu sebagai berikut.
a. Spiritualitas. Dalam kategori ini terdapat agama sebagai
sumber inti bagi hidup sehat. Dimensi lain dari aspek spiritualitas ini adalah
(1) kemampuan memberikan makna kepada kehidupan, (2) optimis terhadap
kejadian-kejadian yang akan datang, dan (3) diterapkannya nilai-nilai dalam
hubungan antar orang serta dalam pengambilan keputusan.
b.
Pengaturan Diri.
Seseorang yang mengamalkan hidup sehat pada dirinya terdapat ciri-ciri (1) rasa
diri berguna, (2) pengendalian diri, (3) pandangan realistik, (4) spontalitas
dan kepekaan emosional, (5) kemampuan rekayasa intelektual, (6) pemecahan
masalah, (7) kreatif, (8) kemampuan berhumor, dan (9) kebugaran jasmani dan
kebiasaan hidup sehat.
c.
Bekerja. Dengan bekerja
seseorang akan memperoleh keuntungan ekonomis (terpenuhinya kebutuhan sandang,
pangan, dan papan), psikologis (rasa percaya diri, dan perwujudan diri), dan
sosial (status dan persahabtan).
d.
Persahabatan.
Persahabatan merupakan hubungan sosial, baik antar individu maupun dalam
masyarakat secara lebih luas, yang tidak melibatkan unsur-unsur perkawinan dan
keterikatan ekonomis. Persahabtan ini memberikan tiga keutamaan kepada hidup
yang sehat, yaitu (1) dukungan emosional, (2) dukungan material, dan (3)
dukungan informasi.
e.
Cinta. Dengan cinta
hubungan seseorang dengan orang lain cenderung menjadi amat intim, saling
mempercayai, saling terbuka, saling kerjasama, dan saling memberikan komitmen
yang kuat. Penelitian Flanagan (1978) menemukan bahwa pasangan hidup
suami-istri, anak, dan teman merupakan tiga pilar paling utama bagi keseluruhan
penciptaan kebahagiaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perkawinan dan
persahabatan secara signifikan berkontribusi kepada kebahagiaan hidup.
Bagi bangsa Indonesia yang menjadi
landasan filosofis bimbingan dan konseling adalah Pancasila, yang
nilai-nilainya sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai makhluk Tuhan
yang bermartabat. Sehubungan dengan hal itu, program bimbingan dan konseling
harus merujuk kepada nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila
tersebut. Pancasila sebagai landasan bimbingan dan konseling mempunyai
implikasi sebagai berikut.
a. Tujuan bimbingan dan konseling harus selaras dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila. Dengan demikian tujuan
bimbingan dan konseling itu adalah memfasilitasi individu (peserta didik) agar
mampu (1) mengembangkan potensi, fitrah, atau jati dirinya sebgai makhluk
Tuhan, dengan cara menimani, memahami dan mengamalkan ajaran-Nya; (2)
mengembangkan sikap-sikap yang positif, seperti respek terhadap harkat dan
martabat diri sendiri dan orang lain, dan bersikap empati; (3) mengembangkan
sikap kooperatif, kolaboratif, toleransi dan altruis (ta’awun bilma’ruf);
(4) mengembangkan sikap demokratis, menghargai pendapat orang lain, bersikap
terbuka terhadap kritikan orang lain, dan bersikap mengayomi masyarakat; dan
(5) mengembangkan kesadaran untuk membangun bangsa dan negara yang sejahtera
dan berkeadilan dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, hukum, pendidikan, dan
pekerjaan).
b.
Konselor seyogianya
menampilkan kualitas pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu
beriman dan bertakwa, bersikap respek terhadap orang lain, mau bekerjasama
dengan orang lain, bersikap demokratis, dan bersikap adil terhadap para siswa.
c.
Perlu melakukan penataan
lingkungan (fisik dan sosial budaya) yang mendukung terwujudkannya nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat pada umumnya. Upaya-upaya
itu di antaranya: (1) menata lingkungan hidup yang hijau berbunga, dan bersih
dari populasi (udara, air, dan limbah/sampah); (2) mencegah atau memberantas
kriminalitas, minuman keras, judi, dan penggunaan obat-obatan terlarang
(seperti narkoba/Naza); (3) menghentikan tayangan-tayangan Televisi yang
merusak aqidah, dan akhlak (moral) warga masyarakat, terutama anak-anak dan
remaja; (4) mengontrol secara ketat penjualan alat-alat kontrasepsi (terutama
pil dan kondom); dan (5) memberantas korupsi dan mealkukan clean government (pemerintahan
yang bersih).
B.
LANDASAN
RELIGIUS
1. Hakikat
Manusia Menurut Agama
Menurut sifat hakiki
manusia adalah makhluk beragama (homo religius), yaitu makhluk yang mempunyai
fitrah untuk memahami dan menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari
agama, serta sekaligus menjadikan kebenaran agama itu sebagai rujukan
(referensi) sikap dan perilakunya.
Fitrah beragama ini
merupakan potensi yang arah perkembangannya amat tergantung pada kehidupan
beragama lingkungan dimana orang (anak) itu hidup, terutama lingkungan
keluarga. Apabila kondisi tersebut kondusif, dalam arti lingkungan itu
memberikan ajaran, bimbingan dengan pemberian dorongan (motivasi) dan
ketauladanan yang baik (uswah hasanah) dalam mengamalkan nilai-nilai agama, maka
anak itu akan berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia, berbudi pekerti
luhur (berakhlaaqul kariimah)
Seperti halnya fitrah
beragama, maka hawa nafsu pun merupakan potensi yang melekat pada setiap diri
individu. Hawa nafsu (naluri atau instink) ini, seperti nafsu makan, minum, dan
seksual keberadaannya amat bermanfaat bagi kelangsungan hidup individu sendiri.
Keberadaan hawa nafsu
itu disamping memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, juga dapat melahirkan
madlarat (ketidak-nyamanan, atau kekacauan dalam kehidupan, baik personal
maupun sosial). Kondisi ini terjadi apabila hawa nafsu itu tidak dikendalikan,
karena memang sifat yang melekat pada hawa nafsu adalah mendorong manusia
kepada keburukan atau kejahatan (innannafsa laammaaratun bissuui).
Kemampuan individu
(anak) untuk dapat mengembangkan potensi “takwa” dan mengendalikan “fujur”-nya,
tidak terjadi secara otomatis atau berkembang dengan sendirinya, tetapi
memerlukan bantuan orang lain, yaitu melalui pendidikan agama (bimbingan,
pengajaran, dan pelatihan), terutama dari orangtuanya, sebagai pendidik pertama
dan utama di lingkungan keluarga.
Dengan mengamalkan
ajaran agama, berarti manusia telah mewujudkan jati dirinya, identitas dirinya
(self-identity) yang hakiki, yaitu sebagai ‘abdullah (hamba allah) dan khalifah
di muka bumi.
2. Peranan
Agama
Agama sebagai pedoman
hidup bagi manusia telah memberikan petunjuk (hudan) tentang berbagai aspek
kehidupan, termasuk pembinaan atau pengembangan mental (rohani) yang sehat.
Sebagai petunjuk hidup bagi manusia dalam mencapai mentalnya yang sehat, agama
berfungsi sebagai berikut.
a. Memelihara
Fitrah
Manusia dilahirkan
dalam keadaan fitrah (suci). Namun manusia mempunyai hawa nafsu (naluri atau
dorongan untuk memenuhi kebutuhan/keinginan), dan juga ada pihak luar yang
senantiasa berusaha menggoda atau menyelewengkan manusia dari kebenaranm yaitu
setan, manusia sering terjerumus melakukan perbuatan dosa. Agar manusia dapat
mengendalikan hawa nafsunya dan terhindar dari godaan setan (sehingga dirinya
tetap suci), maka manusia harus beragama, atau bertakwa kepada Allah, yaitu
beriman dan beramal shaleh, atau melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Apabila manusia telah bertakwa kepada Tuhan, berarti dia telah
memelihara fitrahnya, dan ini juga berarti bahwa dia termasuk orang yang akan
memperoleh rahmat Allah.
b. Memelihara
Jiwa
Agama sangat menghargai
harkat dan martabat, atau kemuliaan manusia. Dalam memelihara kemuliaan jiwa
manusia, agama mengharamkan atau melarang manusia melakukan penganiayaan, penyiksaan,
atau pembunuhan, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
c. Memelihara
Akal
Dengan akal, manusia
memiliki:
1) Kemampuan
untuk membedakan yang baik dan buruk, atau memahami dan menerima nilai-nilai
agama; dan
2) Mengembangkan
ilmu dan teknologi, atau mengembangkan kebudayaan.
d. Memelihara
Keturunan
Agama mengajarkan
kepada manusia tentang cara memelihara keturunan atau sistem regenerasi yang
suci. Aturan atau norma agama untuk memelihara keturunan itu adalah pernikahan.
M. Surya (1997)
mengemukan bahwa agama memegang peranan sebagai penentu dalam proses
penyesuaian diri. Hal ini diakui oleh ahli klinis, psikiatris, pendeta, dan
konselor bahwa agama adalah factor penting dalam memelihara dan memperbaiki
kesehatan mental. Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam mengurangi
konflik, frustasi, dan ketegangan lainnya, dan memberikan suasana damai dan
tenang.
Dekadensi moral itu
seperti terjadinya kasus-kasus yang terkait dengan larangan 5M, yaitu:
1) Madat
= Narkoba dan Miras
2) Madon
= Berzina, prostitusi, free sex, atau
kumpul kebo
3) Maling
= Korupsi, mencuri, mencopet, dan
ngompas
4) Main
= Berjudi
5) Mateni
= Membunuh (diri sendiri maupun orang
lain)
Berikut akan dikemukakan
pendapat para ahli tentang pengaruh agama terhadap kesehatan mental.
1) William
James (seorang filosof dan ahli ilmu jiwa Amerika) berpendapat sebagai berikut.
a) Tidak
diragukan lagi bahwa terapi terbaik bagi keresahan adalah keimanan kepada
Tuhan.
b) Keimanan
kepada Tuhan merupakan salah satu kekuatan yang harus terpenuhi untuk menopang seseorang
dalam hidup ini.
c) Antara
kita dengan Tuhan terdapat suatu ikatan yang tidak terputus apabila kita
menuduhkan diri di bawah pengarahan-Nya, maka semua cita-cita dan harapan kita
akan tercapai.
d) Gelombang
lautan yang menggelora, sama sekali tidak membuat keruh ketenangan relung hati
yang dalam dan tidak membuatnya resah. Demikian halnya dengan individu yang
keimanannya mendalam, ketenangannya tidak akan terkeruhkan oleh gejolak
superfisial yang sementara sifatnya. Sebab individu yang benar-benar religius
akan terlindung dari keresahan, selalu terjaga keseimbangannya, dan selalu siap
untuk menghadapi segala malapetaka yang terjadi.
2) Dadang
Hawari Idries (psikiater) mengemukakan bahwa dari sejumlah penelitian para ahli
bisa disimpulkan:
a) Komitmen
agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan
kemampuan mengatasi penyakit dan mempercepat pemulihan penyakit
b) Agama
lebih bersifat protektif daripada problem
producing
c) Komitmen
agama mempunyai hubungan signifikan dan positif dengan clinical benefit
Mengenai kaitan antara
keimanan kepada Tuhan dan pengalaman ajaran-Nya dengan kesehatan mental, dalam
alquran banyak ayat yang menunjukkan hal tersebut, yaitu sebagai berikut.
1) Surah
At-Tiin mengisyaratkan bahwa “manusia akan mengalami kehidupan yang hina/jatuh
mertabatnya termasuk juga kehidupan psikologis yang tidak nyaman (mentalnya
tidak sehat) kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh (berbua
kebajikan)”
2) Senada
dengan surah At-Tiin adalah surat Al-‘Ashr, yaitu bahwa “semua manusia itu
merugi (celaka hidupnya, tidak tentram, atau perasaan resah dan gelisah)
kecuali orang-orang yang beriman, beramal shaleh, dan saling mewasiati dengan
kebenaran dan kesabaran.”
3) Surah
Ar-Ra’du: 28, “yaitu, orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan berzikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berzikir kepada Allah-lah,
hati akan menjadi tentram (bahagia).”
4) Surat
Al-Baqoroh: 112
Tidaklah demikian,
bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat
kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhan-Nya, tidak ada kekhawatiran atau
kecemasan dan tidak pula kesedihan bagi mereka.
5) Surat
Al-Ahqof: 13
Sesungguhnya orang yang
menyatakan Tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka tetap istiqomah (teguh
pendirian dalam keimanan kepada Allah dan menjalankan syariat-Nya), maka tidak
ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula berduka cita.
6) Surat
Al-Israa: 82
Dan kami menurunkan
dari Alquran, sebagai obat (penawar) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
7) Surat
Yunus: 57
Wahai manusia
sesungguhnya telah datang kepadamu ‘mauidhah’ (nasihat) dari Tuhanmu, pemyembuh
bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada (syifaaun lima fish shuduur),
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
3. Persyaratan
Konselor
Prayitno dan Erman Amti
mengemukakan persyaratan bagi konselor, yaitu sebagai berikut.
a. Konselor
hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanan dan
ketakwaannya sesuai dengan agama yang dianutnya.
b. Konselor
sedapat-dapatnya mampu mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang
relevan dengan masalah klien.
c. Konselor
harus benar-benar memperhatikan dan menghormati agama klien.
C.
LANDASAN
PSIKOLOGIS
1. Motif
Motif
adalah kekuatan yang mendorong dan mengarahkan perilaku.
a. Pengelompokan
motif :
1) Motif
Primer dan Motif Skunder
Motif primer disebut
juga motif dasar(basic motif) atau biological drives (karena dari
kebutuhan-kebutuhan biologis). Motif ini bersifat naluriah(instinktif) yang
tidak dipelajari. Meliputi,
a) Dorongan
fisiologis (physiological drive), bersumber pada kebutuhan organis(organic
needs). Meliputi: dorongan untuk makan, minum, bernafas, mengembangkan
keturunan, beristirahat dan bergerak, dan sebagainya.
b) Dorongan
umum dan motif darurat, bentuk-bentunya yang ssuai dengan perangsang tertentu
berkembang karea dipelajari. Meliputi: perasaan takut,dorongan kasih sayang,
dorongan ingin tahu, dorongan untuk melarikan dirimenyerang, berusaha dan
mengejar.
2) Motif
sekunder disebut juga motif social merupakan motif yang dipelajari. Meliputi:
dorongan untuk belajar ilmu pengetahuan, dorongan mengejar suatu
kedudukan(status), dorongan berprestasi, dan sebagainya.
Motif menurut Woodwort dan Marquis
a) Motif
atau kebutuhan organis, seperti: kebutuhan untuk makan, minum, bernapas,
seksual, beristirahat dan bergerak.
b) Motif
darurat, seperti: motif untuk menyelamatkan diri, membalas, mengejar, berusaha,
dan menyerang.
c) Motif
objektif, yaitu:
Motif untuk melakukan eksplorasi atau motif
menyelidiki, tujuannya untuk memperleh sesuatu kebenaran yang lebih objektif.
d) Motif
manipulasi, untuk menggunakan sesuatu dari lingkungan, sehingga dapat berguna
bagi dirinya sendiri dalam memelihara kelangsungan hidupnya.,
e) Motif
interest (minat), untuk memusatkan kegiatan dan perhatian terhadap suatu objek
yang banyak bersangkutan dengan diri individu.
b. Pengukuran
motif
Mengukur motif dengan
mengidentifikasi beberapa indicator, yaitu:
1) Durasi
kegiatanya
2) Frekuensi
kegiatannya
3) Persistensinya
(ketetapan atau kelekatannya) pada tujuan kegiatan yang dilakukan.
4) Devosi
(pengabdian) dan pengorbanan (uang, enaga, pikiran, bahkan jiwanya) untuk
mencapai tujuan.
5) Ketabahan,
keuletan dan kemauannya dalam menghadapi rintangan dan kesulitan untuk mencapai
tujuan.
6) Tingkatan
aspirasinya (maksud, rencana, cita-cita) yang hendak dicapai dengan kegiatan
yang dilakukan.
7) Tingkat
kualifikasi dari prestasi, produk atau output yang dicapai dari kegiatannya.
8) Arah
sikapnya terhadap sasaran kegiatannya.
c. Beberapa
Usaha untuk membangkitkan atau memperkuat motif
1) Menciptakan
situasi kompetisi yang sehat
2) Adakan
apcemaking, yaitu usaha untuk merinci tujuan jangka panjang menjadi bberapa
tujuan jangka pendek
3) Menginformasikan
tujuan yang jelas
4) Memberikan
penghargaan atau hadiah daalam hal tertentu
5) Memberi
kesempatan untuk sukses.
2. Konflik
dan Frustasi
a. Konflik
Beberapa macam motif yang saling bertentangan
merupakan konflik psikis, yaitu suatu pertentangan batin, suatu kebimbangan,
suatu keragu-raguan motif mana yang akan diambilnya. Konflik dibedakan tiga
jenis yaitu:
1) Konflik
mendekat-mendekat, yaitu kondisi psikis yang dialami individu karena menghadapi
dua motif positif (motif yang disenangi atau yang diinginkan) sama kuat.
Misalnya seorang mahasiswa yang harus memilih
antara mengikuti ujian akhir semester dengan melaksanakan tugas dari
kantor tempat dia bekerja.
2) Konflik
menjauh-menjauh, kondisi psikis yang dialami individu karena menghadapi dua
motif negatif (motif yang tidak disenangi) sama kuat. Misalnya seorang terdakwa
harus memilih benyuk hukuman yang dijatuhkan kepadanya, yaitu antara masuk
penjara atau membayar uang dengan jumlah yang tidak mungkin terjangkau.
3) Konflik
mendekat menjauh, yaitu kondisi psikis yang dialami individu karena menghadapi
situasi mengandung motif positif dan negatif sama kuat. Misalnya seorang
pelajar putri dari sebuah SMA menghadapi dua masalah yang harus dipilih salah
satu antara memakai jilbab karena keinginanya atau dikeluarkan dari sekolah
yang bukan keinginannya.
b. Frustasi
Frustasi dapat diartikan sebagai kekecewaan dalam
diri individu yang disebabkan oleh tidak tercapainya keinginan. Sumber frustasi
dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu:
1) Frustasi
lingkungan, frustasi yang disebabkan oleh rintangan yang terdapat dalam
lingkungan. Misalnya, seorang pria yang akan menikah dengan seorang gadis
idamanya, tapi ternyata gadis tersebut meninggal dunia.
2) Frustasi
pribadi, frustasi yang timbul dari ketidakmampuan orang itu mencapai tujuan.
Misalnya, seorang siswa yang bercita-cita menjadi dokter, tapi ternyata pada
saat penjurusan dia harus masuk IPS karena prestasi belajar di bidang IPA sangat
kurang.
3) Frustasi
konflik, frustasi yang disebabkan konflik dari berbagai motif dalam diri
seseorang.
Reaksi individu terhadap frustasi yang dialami berbeda-beda,
diantaranya:
1) Agresi
marah, berwujud verbal(marah-marah) atau non-verbal(seperti membanting pintu,
memecahkan barang-barang, dan memukul).
2) Bertindak
secara eksplosif, yaitu dengan perbuatan jasmaniah ataupun dengan
ucapan-ucapan, setelah terkuras unek-uneknya semua, biasanya individu itu
merasa ketegangan dalam dirinya itu berkurang atau menghilang.
3) Dengan
cara introversi, dengan jalan menarik diri adri dunia nyata, dan masuk ke dunia
khayal.
4) Perasaan
tak berdaya,
5) Kemunduran,
yang menunjukkan frustasi kemunduran dalam tingkah laku, yaitu tingkah laku
kekanak-kanakan, seperti: ngompol, dan mengisap ibu jari.
6) Fiksasi,
yaitu mengulang kembali sesuatu yang menyenangkan.
7) Penekanan,
dengan cara menekan pengalaman traumatis, keinginan, kekesalan, atau
ketidaksenangan kealam tidak sadar.
8) Rasionalisasi,
usaha-usaha mencari-cari dalih pada orang lain untuk menutupi
kesalahan(kegagalan sendiri). Seperti mahasiswa yang mendapat nilai jelek, dia
beralasan karena dia sedang sakit sehingga nilainya jelek padahal dia tidak
sakit.
9) Proyeksi,
dengan melemparkan sebab kegagalanya kepada orang lain atau sesuatu di luardirinya.
10) Kompensasi,
berusaha untuk menutupi kekurangan aatu kegagalannya dengan cara-cara lain yang
dianggapnya memadai. Missal, meminum minuman keras.
11) Sublimasi,
mengalihkan tujuan pada tujuan yang mempunyai nilai social atau etika yang
lebih tinggi. Contoh: senang berkelahi menjadi petinju.
3. Sikap
Sikap adalah kondisi
mental yang relative menetap untuk merespon suatu objek atau perangsang
tertentu yang mempunyai arti, baik bersifat positif, netral, atau negative,
menyangkut aspek-aspek kognisi, afeksi dan kecenderungan untuk bertindak.
1) Unsur
sikap:
a) Unsur
kognisi, terdiri atas keyakinan atau pemahaman individu terhadap objek-objek
tertentu. Misal, sikap terhadap perjudian, minuman keras dan sebagainya itu
kita yakini dan memahami bahwa itu hukumnya haram.
b) Unsur
afeksi, menunjukkan perasaan yang menyertai sikap individu terhadap suatu
objek. Unsure ini bersifat positif bila menyenangi, menyetujui, dan negative
bila sebaliknya dari positif. Misalnya, kita sebagi orang Islam tidak menyukai
judi dan minuman keras karena kita tahu hukumnya haram.
c) Unsure
kecenderungan bertindak, meliputi seluruh kesediaan individu untuk bertindak
atau mereaksi terhadap objek tertentu yang dipengaruhi oleh unsure-unsur
sebelumnya. Misalnya, seorang muslim yang sudah meyakini bahwa judi itu
hukumnya haram, , dia akan membenci judi tersebut dan dia cenderung akan
menjauhi dan berusaha akan menghilangkannya.
1) Ciri-ciri
sikap:
a) Terdapat hubungan antara subjek-objek, berupa benda,
orang, nilai-nilai, pandangan hidup, agam, hukum, lembaga masyarakat, dan
sebagainya.
b) Tidak
dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari dan dibentuk melalui
pengalaman-penglaman.
c) Dapat
berubah-ubah sesuai dengan keadaan lingkungan pada saat yang berbeda.
d) Dalam
sikap tersangkut juga faktor motivasi dan perasaan.
e) Sikap
tidak menghilang meskipun kebutuhan sudah terpenuhi
2) Pembentukan
sikap dipengaruhi 4 faktor, yaitu:
a) Faktor
pengalaman khusus, misalnya para mahasiswa yang mendapat perlakuan baik dari
dosennya, baik pada waktu belajar atau di luar jam belajar, maka akan terbentuk
pada dirinya sikap positif pada dosen tersebut.
b) Faktor
komunikasi dengan orang lain, baik langsung maupun tidak langsung, yaitu
melalui media massa, seperti: TV, radio, surat kabar dan majalah.
c) Faktor
model, dengan melalui jaln mengimitasi suatu tingkah laku yang memakai model
dirinya, seperti perilaku orang tua, dosen, guru, pemimpin, bintang film dan
sebagainya.
d) Faktor
lembaga-lembaga social, suatu lembaga juga dapat menjadi sumber yang
mempengaruhi terbentuknya sikap, seperti lembaga keagamaan, organisasi
kemsyarakatan, partai politik, dan sebagianya.
3) Teori
Perubahan sikap, yaitu:
a) Pendekatan
teori belajar, bahwa sikap itu berubah disebabkan oleh proses belajar atau
materi yag dipelajari.
b) Pendekatan
teori persepsi, bahwa sikap seseorang itu berubah bila persepsinya tentang
objek itu berubah
c) Pendekatan
teori konsistensi, bahwa setiap oaring aakn berusahauntuk memelihara harmoni
intensional, yaitu kesersian atau keseimbangan dalam dirinya.
d) Pendekatan
teori fungsi, sikap seseorang itu akan berubah atu tidak, sangat bergantung
pada hubungan funsional objek itu bagi dirinya atau pemenuhan kebutuhan
dirinya.
4. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Individu
a. Hereditas(keturunan)
Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi
perkembangan individu. Diartikan sebagai “totalitas karakteristik individu yang
diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik atau psikis
yang dimiliki individu sejak masa konsepsi(masa pembuahan ovum oleh
sperma)sebagai pewarisan dari pihak orang tua melalui gen-gen”.
Yang diturunkan orang tua kepada anak adalah sifat
strukturnya, bukan tingkah laku yang diperoleh (hasil belajar atau pengalaman).
Penurunan sifat-sifat dari satu generasi ke generasi berikutnya adalah melalui
prinsip-prinsip berikut:
1) Reproduksi,
yaitu bahwa penurunan sifat itu hanya berlangsung dengan melalui sel benih.
2) Konformitas,
yaitu proses penurunan sifat itu mengikuti pola dari jenis (spesies) generasi
sebelumnya, misalnya manusia menurunkan sifat-sifat manusia pada anaknya.
3) Variasi,
yaitu bahwa proses penurunan sifat-sifat itu akan terjadi beraneka(bervariasi).
Misalnya, antara kakak dan adik akan terdapat perbedaan, meskipun berasal dari
orang tua yang sama.
4) Regresi
filial, yaitu bahwa penurunan sifat atau cirri-ciri itu cenderung kearah
rata-rata.
b. Lingkungan
Lingkungan adalah segala hal yang mempengaruhi
individu, sehingga individu itu terlibat/terpengaruh karenanya. Semenjak masa
konsepsi dan masa-masa selanjutnya, perkembangan individu dipengaruhi oleh mutu
makanan yang diterimanya, temperature udara sekitarnya, suasana dalam keluarga,
sikap-sikap orang sekitar, hubungan dengan sekitarnya, suasana pendidikan,
(informal,formal, nonformal). Dengan kata lain, individu akan menerima pengaruh
dari lingkungan, member respon kepada lingkungan, mencontoh atau belajar
tentang berbagai hal dari lingkungan.
Lingkungan perkembangan individu adalah keseluruhan
fenomena (peristiwa, situasi, atau kondisi) fisik atau social yang mempengaruhi
atau dipengaruhi perkembangan individu.
1) Lingkungan
keluarga
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam
mengembangkan pribadi anak. Perawatan orangtua yang penuh kasih saying, dan
pedidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun social budaya yang
diberikan merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi
pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
2) Lingkungan
sekolah
Sekolah merupakan
lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakan program
bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam membantu siswa agar mampu
mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spiritual,
intelektual, emosional, maupun sosial.
a) Pencapaian
Tugas Perkembangan Melalui Kelompok Teman Sebaya di Sekolah
Remaja sering
menempatkan teman sebaya lebih penting dibandingkan orangtua atau guru dalam
menyatakan kesetiaannya.
Dalam masyarakat sering
muncul perselisihan atau kesalahpahaman antara kelompok sebaya remaja dengan
orangtua, guru, dan orang-orang yang mempunyai otoritas lainnya. Dengan itu
pengalaman remaja tersebut sangat bermanfaat untuk mencapai kedewasaan diri.
Dengan kata lain, dalam kelompok sebaya ini, remaja dapat menuntaskan
tugas-tugas perkembangan mencapai hubungan baru dengan teman sebaya, baik pria maupun wanita, dan mencapai peran sosial
sebagai pria atau wanita.
Upaya pimpinan dan
guru-guru disekolah dalam membantu siswa mencapai perkembangan diatas adalah :
(1) Memberikan
pengajaran atau bimbingan tentang keterampilan sosial.
(2)
Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler atau OSIS.
(3)
Mengajar atau
membimbing siswa tentang masalah peranan sosial pria atau wanita dalam
masyarakat.
(4)
Menugaskan siswa untuk mengamati kehidupan sosial
dalam bidang pendidikan, pekerjaan, kehidupan berkeluarga atau kehidupan
bermasyarakat lainnya sebagai bahan pembahasan diskusi dengan guru.
b)
Mencapai Perkembangan Kemandirian Pribadi
Remaja
merupakan periode perkembangan ke arah kemandirian. Untuk mencapai aspek
perkembangan ini, remaja harus dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangan :
(1)
Menerima keadaan
fisiknya dan memanfaatkannya secara efektif.
(2)
Mencapai
kemandirian emosional dari orangtua atau dari orang dewasa lainnya.
(3)
Mencapai jaminan
kemandirian ekonomi.
(4)
Memilih dan mempersiapkan suatu pekerjaan.
(5)
Mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga.
(6)
Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang
perlu bagi kompetensi sebagai warga negara.
Dalam
membantu remaja mencapai tugas-tugas perkembangan di atas, maka sekolah dapat
memfasilitasinya dengan upaya-upaya sebagai berikut:
(1)
Melalui
pelajaran biologi, kesehatan dan olahraga, atau layanan bimbingan, guru mata
pelajaran atau guru pembimbing dapat memberikan penjelasan tentang pertumbuhan
atau perubahan fisik remaja.
(2)
Membantu siswa
dalam mengembangkan kondisi dirinya (kekuatan dan kelemahannya).
(3)
Menyediakan
fasilitas bagi siswa dalam bidang olahraga, kesenian atau
keterampilan-keterampilan lainnya.
(4)
Menciptakan suasana sekolah yang kondusif bagi
perkembangan emosional siswa (memelihara hubungan antara guru-siswa, yang
bersifat hangat penuh pengertian dan penerimaan).
(5)
Memberikan informasi kepada siswa tentang cara
menghadapi frustasi atau stres secara sehat.
(6)
Memberikan kesempatan kepada siswa misalnya dalam
proses belajar mengajar berlangsung untuk mengajukan pertanyaan, atau
pendapatnya.
(7)
Memberikan bimbingan tentang cara memecahkan masalah
atau mengambil keputusan.
(8)
Membantu siswa mengembangkan rasa percaya dirinya.
(9)
Melalui proses belajar mengajar atau bimbingan khusus
guru mengembangkan sikap, semangat, atau kebiasaan positif siswa untuk belajar.
(10)
Mengembangkan
sikap positif siswa terhadap dunia kerja.
(11)
Mengembangkan
informasi tentang dunia kerja.
(12)
Membantu siswa
tentang cara memilih pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.
(13)
Mengembangkan
sikap positif siswa terhadap pernikahan dan hidup berkeluarga.
c.
Kematangan
Yang dimaksud kematangan ialah siapnya
suatu fungsi kehidupan, baik fisik maupun psikis untuk berkembang dan melakukan
tugasnya.
5. Masalah Perkembangan Individu
Setiap individu
dilahirkan ke dunia dengan membawa karakteristik pewarisan orangtuanya.
Karakteristik tersebut menyangkut fisik (seperti struktur tubuh, warna kulit,
dan bentuk rambut) dan psikis atau sifat-sifat mental (seperti emosi dan
kecerdasan).
Munculnya perkembangan bersumber pada
faktor-faktor berikut:
a.
Kematangan
fisik, misalnya belajar berjalan karena kematangan otot-otot kaki dan belajar
bergaul dengan lawan jenis pada masa remaja karena adanya kematangan hormon
seksual.
b.
Tuntutan
masyarakat secara kultural, misalnya belajar membaca, menulis, berhitung dan
berorganisasi.
c.
Tuntutan dari
dorongan dan cita-cita individu itu sendiri, misalnya memilih pekerjaan dan
memilih teman hidup.
d. Tuntutan
norma agama, misalnya taat beribadah kepada Allah dan berbuat baik pada sesama
manusia.
Perkembangan dalam rentang
kehidupan individu dapat di uraikan sebagai berikut:
a. Perkembangan Usia Bayi dan Kanak-kanak (0-6 tahun)
1)
Belajar
berjalan.
2)
Belajar memakan
makanan padat.
3) Belajar
berbicara.
4) Belajar
buang air kecil dan buang air besar.
5) Belajar
mengenal perbedaan jenis kelamin.
6) Belajar
memahami konsep-konsep sederhana tentang kehidupan sosial dan alam.
7) Belajar
melakukan hubungan emosional dengan orangtua, saudara dan orang lain.
8) Belajar
mengenal konsep baik dan buruk.
9) Mengenal
konsep norma atau ajaran agama secara sederhana.
b. Perkembangan Usia Sekolah Dasar (7-12 tahun)
1) Belajar
memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan.
2)
Belajar
membentuk sikap positif, yang sehat (dapat merawat kebersihan dan kesehatan
diri).
3)
Belajar bergaul
dengan teman sebaya.
4)
Belajar
memainkan peranan sesuai jenis kelamin.
5)
Belajar
keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung.
6)
Belajar
mengembangkan konsep agama, ilmu pengetahuan, dan adat istiadat sehari-hari.
7)
Belajar memahami
tentang benar-salah dan baik-buruk.
8)
Belajar
memperoleh kebebasan (bersikap mandiri).
9)
Belajar
mengembangkan sikap positif terhadap kehidupan sosial.
10)
Mengenal dan
mengamalkan ajaran agama sehari-hari.
c. Perkembangan Usia Remaja (13-19 tahun)
1) Menerima
fisiknya sendiri.
2)
Mencapai
kemandirian emosional dari orangtua dan orang lain tanpa bergantung kepadanya.
3)
Mengembangkan
keterampilan komunikasi.
4)
Mampu bergaul
dengan teman sebaya atau orang lain secara wajar.
5)
Memiliki
kepercayaan terhadap kemampuan sendiri.
6)
Memperoleh
kemampuan mengendalikan diri sendiri.
7)
Mampu
meninggalkan sikap dan perilaku yang kekanak-kanakan.
8)
Bertingkah laku
yang bertanggung jawab.
9)
Mengembangkan
keterampilan intelektual dan konsep yang diperlukan bagi Warga Negara.
10)
Memilih dan
mempersiapkan karir (pekerjaan).
11)
Memiliki sikap
positif terhadap pernikahan dan hidup berkeluarga.
12)
Mengamalkan
ajaran agama yang dianutnya.
d. Perkembangan Usia Dewasa Awal (20-40 tahun)
1) Mengembangkan
sikap,wawasan dan pengalaman nilai-nilai agama.
2) Memperoleh
atau mulai memasuki pekerjaan.
3) Memilih
pasangan hidup.
4) Mulai
memasuki pernikahan dan hidup berkeluarga.
5) Mengasuh,
merawat dan mendidik anak.
6) Mengelola
hidup rumah tangga.
7) Memperoleh
kemampuan dan kemantapan karir.
8) Mengambil
tanggung jawab atau peran sebagai warga masyarakat.
9) Mencari
kelompok sosial (kolega) yang menyenangkan.
e. Perkembangan Usia Dewasa Madya (40-60 tahun)
1) Memantapkan
pemahaman dan pengalaman nilai-nilai agama.
2) Mencapai
tanggung jawab sosial sebagai warga negara.
3) Membantu
anak yang sudah remaja untuk belajar menjadi orang dewasa yang bertanggung
jawab dan bahagia.
4) Menerima
dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi pada aspek fisik (penurunan
kemampuan dan fungsi).
5) Memantapkan
keharmonisan hidup berkeluarga.
6) Mencapai
dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir.
7) Memantapkan
peran sebagai orang dewasa, baik di lingkungan kerja maupun masyarakat.
f. Perkembangan Usia Dewasa Tua (Lansia: 60 tahun –
meninggal)
1) Lebih
memantapkan diri dalam mengamalkan ajaran agama.
2)
Mampu
menyesuaikan diri dengan mennurunnya kemampuan dan kesehatan fisik.
3)
Dapat
menyesuaikan diri dengan masa pensiun (jika
pegawai negeri) dan berkurangnya penghasilan keluarga.
4)
Dapat
menyesuaikan diri dengan orang lain yang seusia.
5)
Memantapkan
hubungan yang lebih harmonis dengan anggota keluarga (istri, anak, menantu,
cucu, dan saudara).
6.
Masalah Perbedaan Individu
Di sekolah sering kali
tampak masalah perbedaan individu ini, misalnya ada siswa yang sangat cepat dan
ada yang lambat belajar, ada yang menonjol dalam kecerdasan tertentu tetapi
kurang cerdas dalam bidang lain. Di samping itu, perbedaan ini banyak menimbulkan
masalah baik bagi siswa itu sendiri maupun terhadap lingkungannya. Maka,
masalah perbedaan individu ini perlu mendapat perhatian dalam pelayanan
pendidikan. Sekolah hendaknya memberikan bantuan kepada siswa dalam menghadapi
masalah-masalah sehubungan dengan perbedaan individu.
7. Masalah Kebutuhan Individu
Pada
umumnya secara psikologis dikenal ada dua jenis kebutuhan dalam diri individu
yaitu kebutuhan biologis dan kebutuhan sosialpsikologis. Beberapa di antaranya
kebutuhan-kebutuhan yang harus diperhatikan ialah sebagai berikut:
·
Memperoleh kasih
sayang.
·
Memperoleh harga
diri.
·
Memperoleh
penghargaan yang sama.
·
Ingin dikenal.
·
Memperoleh prestasi dan posisi.
·
Untuk dibutuhkan orang lain.
·
Merasa bagian dari kelompok.
·
Memperoleh rasa aman dan perlindungan diri.
·
Memperoleh kemerdekaan diri.
·
Masalah Penyesuaian Diri dan
Kesehatan Mental.
a.
Penyesuaian Normal.
Penyesuaian
normal ini memiliki karakteristik sebagai berikut :
1)
Terhindar dari
ekspresi emosi yang berlebih-lebihan, merugikan, atau kurang mampu mengontrol
diri.
2)
Terhindar dari
mekanis psikologis, seperti rasionalisasi, agresi, kompensasi dan sebagainya.
3)
Terhindar dari
perasaan frustasi atau perasaan kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhannya.
4)
Mampu memecahkan
masalah.
5)
Mampu
mengembangkan kualitas dirinya, khususnya yang berkaitan dengan upaya untuk
memnuhi kebutuhan atau mengatasi masalah sehari-hari.
6)
Mempu
memanfaatkan pengalaman masa lalu, bercermin ke masa lalu baik yang terkait
dengan keberhasilan maupun kegagalan untuk mengembangkan kualitas hidup yang
lebih baik.
7)
Bersikap mampu
menerima kenyataan hidup yang dihadapi secara wajar, mampu menghindari,
merespon situasi atau masalah secara rasional, tidak didasari oleh prasangka
buruk atau negatif.
b.
Penyesuaian Menyimpang
Penyesuaian
menyimpang adalah tingkah laku abnormal (abnormal behavior), terutama
terkait dengan kriteria agama. Penyesuaian yang menyimpang atau tingkah laku
abnormal dapat ditandai dengan respon-respon berikut.
1)
Reaksi bertahan
Orang
ini berusaha mempertahankan diri seolah-olah tidak mengalami kesalahan,
menutupi kesalahan, atau menutupi kelemahan dirinya sendiri dengan cara atau
alasan tertentu. Bentuk reaksi ini antaranya : a) Konpensasi, menutupi
kelemahan dalam satu hal dengan cara mencari kepuasan dalam bidang lain. Contoh
: Apabila kita dalam satu pekerjaan, kita dapat menutupi kelemahan tersebut
dengan cara mencari pekerjaan yang baru. b) Sublimasi, menutupi atau mengganti
kelemahan dengan cara mencari kegiatan sesuai dengan nilai masyarakat. c)
Proyeksi, melemparkan sebab kegagalan dirinya kepada pihak lain.
2)
Perasaan Rendah
Diri
Inferioritas
ini dapat diartikan sebagai perasaan yang tidak disadari yang berasal dari
kekurangan diri baik secara nyata maupun maya (imajinasi).
Inferrioritas
menimbulkan gejala perilaku sebagai berikut :
a)
Peka (merasa
tidak senang) terhadap kritikan orang lain.
b)
Sangat senang
terhadap ujian atau penghargaan.
c)
Senang
mengkritik dan mencela orang lain.
d)
Kurang senang
untuk berkompetisi.
e)
Cenderung senang
menyendiri pemalu dan penakut.
Berkembangnya
sikap inferioritas ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a)
Kondisi fisik :
lemah, kerdil, cacat, tidak berfungsi, atau wajah yang tidak menarik.
b)
Psikologis :
kecerdasan dibawah rata-rata, konsep diri yang negatif dapat berdampak karena
frustasi yang terus-menerus dalam memenuhi kebutuhan dasar (seperti selalu
gagal memperoleh status, kasih sayang, prestasi dan pengakuan).
c)
Kondisi
lingkungan yang tidak kondusif : hubungan keluarga tidak harmonis, kemiskinan
dan perlakuan yang keras dari orangtua.
d)
Perasaan Tidak
Mampu
“Inadequasi” merupakan ketidakmampuan
seseorang untuk memenuhi tuntutan dari lingkungan. Contohnya: Seseorang siswa
mengeluhkarna tidak mampu memenuhi tuntutan akademik di sekolahnya.
e)
Perasaan Gagal
Perasaan ini sangat dekat hubungannya
dengan perasaan yang tidak mampu karena jika seseorang tidak merasa bahwa
dirinya tiddak mampu, maka dia akan cenderung mengalami kegagalan untuk
melakukan sesuatu atau mengatasi masalah yang dihadapinya.
f)
Perasaan
Bersalah
Perasaan bersalah muncul setelah seseorang
yang melanggar aturan moral atau yang dianggap berdosa.
8.
Kreativitas
a. Pengertian
Kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
mencipta suatu produk baru, atau kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan
baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah. Kreativitas meliputi ciri-ciri
kognitif (aptitude), seperti kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility),
keaslian (originality), elaborasi (elaboration), dan pemaknaan kembali
(redefinition) dalam pemikiran, maupun ciri-ciri nonkognitif (non-aptitude),
seperti motivasi, sikap, rasa ingin tahu, senang mengajukan pertanyaan, dan
selalu ingin mencari pengalaman baru.
Ciri-ciri tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kelancaran
adalah kemampuan menghasilkan banyak gagasan
2. Keluwesan
adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan atau pendekatan
terhadap masalah.
3. Keaslian
adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli, tidak
klise.
4. Elaborasi
adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara terinci.
5. Redefinisi
adalah kemampuan untuk meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif yang
berbeda dengan apa yang sudah diketahui oleh orang banyak.
b. Karakteristik
SCU Munandar (1984) melakukan penelitian
terhadap sejumlah ahli psikologi tentang pendapat mereka mengenai cirri-ciri
kepribadian kreatif, yang hasilnya adalah sebagai berikut:
1) Mempunyai
daya imajinasi yang kuat.
2) Mempunyai
inisiatif.
3) Mempunyai
minat yang luas.
4) Bebas
dalam berfikir (tidak kaku dan terhambat).
5) Bersifat
ingin tahu.
6) Selalu
ingin mendapat pengalaman-pengalaman baru.
7) Percaya
pada diri sendiri.
8) Penuh
semangat.
9) Berani
mengambil resiko (tidak takut membuat kesalahan).
10) Berani
menyatakan pendapat dan keyakinan (tidak ragu-ragu dalam menyatakan pendapat
meskipun mendapat kritik dan berani mempertahankan pendapat yang menjadi
keyakinannya).
c. Pengembangan
Kreatiitas
Setiap orang diasumsikan memiliki kemampuan kreatif
meskipun dengan tingkat yang beragam. Kreativitas seseorang berkembang
dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (diri sendiri) dan eksternal (lingkungan).
Faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri sendiri, seperti kondisi kesehatan
fisik, tingkatan kecerdasan, kondisi kesehatan mental. Sementara faktor
lingkungan yang mendukung perkembangan kreativitas di antaranya adalah orangtua
atau guru dapat menerima anak apa adanya, orangtua atau guru bersikap empati
kepada anak, orangtua atau guru member kesempatan kepada anak untuk
mengungkapkan pikiran, orangtua atau guru (sekolah) memupuk sikap dan minat
anak dengan berbagai kegiatan yang positif, orangtua atau guru (sekolah)
menyediakan sarana-prasarana pendidikan yang memungkinkan anak mengembangkan
keterampilannya dalam membuat karya-karya yang produktif-inovatif.
9.
Stres dan
Pengelolaannya
a. Teori
Stres
Stress merupakan fenomena psikifisik. Stress dialami setiap orang,
dengan tidak mengenal jenis kelami, usia, kedudukan, jabatan atau status sosial
ekonomi. Stres bisa dialami oleh seorang bayi, anak-anak, remaja atau dewasa,
dialami oleh pejabat atau warga masyarakat biasa, dialami oleh pengusaha atau
karyawan, dialami oleh guru maupun siswa dan dialami oleh pria maupun wanita.
Stres dapat berpengaruh positif maupun
negatif terhadap individu. Pengaruh positif, yaitu mendorong individu untuk
melakukan sesuatu, membangkitkan kesadaran, dan menghasilkan pengalaman baru.
Sedangkan pengaruh negatif, yaitu menimbulkan perasaan-perasaan tidak percaya
diri, penolakan, marah, atau depresi, dan memicu berjangkitnya sakit
kepala, sakit perut, insomnia, tekanan
darah tinggi, atau stroke.
Teori dasar tentsng stres dapat
disimpulkan ke dalam tigavariabel pokok, yaitu sebagai berikut :
1)
Variabel
Stimulus atau engineering approach (pendekatan rekayasa) yang mengkonsepsikan
stress sebagai suatu stimulus atau tuntutan yang mengancam (berbahaya)
2)
Variabel Respon
atau physiological approach (pemdekatan fisiologis) yang didasarka pada model
triphase dari Hans Selye. Dia mengembangkan konsep yang lebih spesifik tentang
reaksi manusia terhadap stressor, yang dia namakan GAS (General Adaptation
Syndrome), yaitu mekanisme respon tipikal tubuh dalam merespon rasa sakit,
ancaman atau stressor lainnya.
3)
Variabel
Interaktif, yang meliputi dua teori yaitu sebagai berikut,
a. Teori
Interaksional, teori yang memfokuskan pembahasannya kepada aspek-aspek,
keterkaitan antara individu dengan ingkungannya, dan hakikat hubungan antara
tuntutan pekerjaan dengan kebiasaan mengambil kepuutusan.
b. Teori
Transaksional yang memfokuskan pembahasannya kepada aspek-aspek kognitif dan
afektif individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa stres adalah perasaan tidak enak, tidak nyaman, atau
tertekan, baik fisik, maupun psikis sebagai respon atau reaksi individu
terhadap stressor (stimulus yang berupa peristiwa, objek, atau orang) yang
mengancam, mengganggu, membebani, atau membahayakan keselamatan, kepentingan,
keinginan, atau keejahteraan hidupnya.
b. Gejala
Stres
Untuk mengetahui apakah diri kita aatau orang lain
mengalami stres dapat dilihat dari gejala-gejalanya, baik fisik maupun psikis.
1)
Gejala Fisik,
diantaranya sakit kepala, sakit lambung (mag), hypertensi, (darah tinggi),
sakit jantung atau berdebar-debar, insomnia (sulit tidur), mudah keringat
dingin, kurang selera makam, dan sering buang air kecil.
2)
Gejala Psikis,
diantaranya gelisah atau cemas, kurang dapat berkonsentrasi belajar atu
bekerja, sikap apatis (masa bodoh), sikap pesimis, hilang rasa humor, bungkam
seribu bahasa, malas belajar atau bekerja, sering melamun, dan sering
marah-marah atau bersikap agresif .
c. Factor-faktor
Pemicu Stres
Faktor pemicu stres itu dapat diklasifikasikan h
dalam beberapa kelompok berikut.
1)
Stressor
fisik-biologik, seperti penyakit yang sulit disembuhkan, cacat fisik atau
kurang berfungsinya salah satu anggota tubuh, dan postur tubuh yang dipersepsi
tidak ideal misalnya terlalu kecil, kurus, pendek atau gemuk.
2)
Stressor
Psikologik, seperti berburuk sangka, frustasi karena gagal memperoleh sesuatu
yang diinginkan, hasud (iri hati atau dendam), sikap permusuhan, perasaan
cemburu, konflik pribadi, dan keinginan yang di luar kemampuan.
3)
Stressor sosial,
seperti hubungan antar anggota keluarga yang tidak harmonis (broken home),
perceraian, suami atau istri selingkuh, suami atau istri meninggal, anak yang
nakal, sikap dan perlakuan orangtua yang keras, salah seorang anggota keluarga
mengidap gangguan jiwa, dan tingkat ekonomi keluarga yang rendah, harga
kebutuhan pokok yang mahal, kurang tersedia fasilitas air bersih yang memadai,
kemarau panjang, udara yang sangat panas/dingin, suara bising, dll.
Faktor-faktor yang mengganggu kestabilan
(stress) organism berasal dari dalam maupun dari luar. Faktor yang yang berasal
dari dalam diri organism adalah bilogi dan psikologis, sedangkan yang berasal
dari luar adalah factor lingkungan.
a) Faktor
Biologis
Stressor biologis meliputi factor-faktor
genetika, pengalaman hidup, ritme biologis, tidur, makanan, postur tubuh,
kelelahan, dan penyakit.
(1) Faktor
Genetika
Predisposisi biologis yang menyebabkan
stres adalah factor-faktor yang berkembang sebelum kelahiran atau komposisi
genetiak. Dalam kenyataan, semua karekteristik biologis maupun mental setiap
individu, termasuk kekuatan dan kelemahannya dikontrol oleh intruksi-intruksi
kode genetika tertentu dalam dirinya. Factor predisposisi lainnya yang
menyebabkan stress ini adalah proses perkembangan dalam kandungan. Apabila
seorang ibu yang mengandung suka mengkonsumsi alcohol, obat-obatan, racun, atau
makanan yang menyebabkan alergi, maka semua itu akanmerusak perkembangan sang
bayi yang sedang dikandung.
10. Pengalaman
Hidup
Setiap individu memiliki
pengalaman hidup yang unik. Pengalaman hidup merupakan proses transisi
kehidupan individu dari mulai masa anak sampai masa dewasa. Masa transisi ini
melahirkan suasana krisis atau stress pada diri individu. Contoh pada masa anak
sakit demam, kecelakaan, dan patah tulangdan pada masa remaja masalah
penyusuaian terhadap perkembangan perasaan independeen dan fenomena kematangan
organ seksual.
a. Tidur
Setiap orang memiliki kebutuhan untuk tidur. Apabila
dia mengalami kurang tidur atau tidurnya tidak nyenyak, maka akan berakibat
kurang baik bagi dirinya seperti tidak berkonsentrasi, kurang semangat untuk
melakukan suatu kegiatan, mudah tersinggung, mengalami gangguan halusinasi.
b. Diet
Diet artinya makanan atau vitamin sebagai nutrisi
yang dibutuhkan tubuh. Dalam hidupnya, setiap individu membutuhkan nutrisi yang
seimbang yaitu karbohidrat, protein, vitamin, mineral dan air. Kekurangan atau
kelebihan nutrisicenderung mempengaruhi proses metabolism tubuh yang normal dan
mengganngu kadar gula darah yang normal, sehingga menimbulkan stres.
c. Postur
Tubuh
Postur merupakan fungsi dari kerangka dan perorotan
tubuh secara kesluruhan. Postur yang kurang sempurna atau normal dapat
merintangi keberfungsian sistem organ-organ tubuh. Di samping itu, postur yang
tidak sempurna ini mempunyai pengaruh yang kurang baik kepada suasana
psikologis individu dan kemampuan berhubungan sosialnya dengan orang lain.
d. Kelelahan
Secara teknis, kelelahan ini merupakan suatu kondisi
dimana reseptor sensoris atau motor kehilangan kemampuan atau kekuatan untuk
merespon stimulus. Kelelahan ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor: merokok
dan meminum minuman keras yang berlebihan, istirahat yang tidak memadai,
ketegangan otot yang terus-menerus, anemia, sakit jantung, atau penyakit
tubercolusis.
e. Penyakit
Penyakit merupakan suatu gangguan fungsi atau
struktur tubuh yang menyebabkan kegagalan dalam mencegah datngnya stressor.
Kemampuan organism untuk menolak penyakit didasarkan oleh sejumlah kegiatan
penyeimbang yang kompleks.
BAB
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Landasan
Filosofis
a. Landasan filosofis
bimbingan terkait dengan cara pandang para ahli berdasarkan olah pikirnya
tentang hakikat manusia, tujuan, dan tugas hidupnya di dunia ini, serta
upaya-upaya untuk mengembangkan, mengangkat, atau memelihara nilai-nilai
kemanusiaan manusia.
b. Bimbingan merupakan
kegiatan manusiawi yang terkait dengan upaya menembangkan potensi insaniah
manusia, sehingga manusia senantiasa berasa dalam alur kehidupan yang
bermartabat dan beradab.
c. Konselor seyogianya
meiliki pemahaman yang mendalam tentang filsafat manusia (filsafat
antropologis) agar memiliki pedoman yang akurat dalam memberikan layanan
bimbingan dan konseling kepada klien ke arah kehidupan yang sesuai dengan
nila-nilai kemanusiaan yangdimiliki klien.
2. Landasan
Religius
a. Agama
merupakan pedoman hidup bagi manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan yang
hakiki di dunia ini dan di akhirat kelak. Karena agama sebagai pedoman hidup,
maka dalam semua kegiatan kehidupan manusia harus merujuk kepada nilai-nilai
agama.
b. Manusia
adalah makhluk yang mempunyai firah beragama, homo religius, yang berpotensi untuk dapa memahami dan mengamalkan
nilai-nilai agama.
c. Hakikat
manusia adalah makhluk Allah, yang berfungsi sebagai hamba dan khalifah-Nya.
Sebagai hamba, manusia mempunyai tugas suci untuk beribadah kepada-Nya. Sebagai
khalifah, manusia mempunyai kewajiban atau amanah untuk menciptakan dan menata
kehidupan yang bermakna bagi kesejahteraan hidup bersama (rahmatan lil’alamiin).
d. Berdasarkan
pendapat para ahli dan temuan-temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa agama
sangat berperan (berkontribusi secara signifikan) terhadap pencerahan diri dan
kesehatan mental individu. Bertitik tolak dari hal ini, maka pengintegrasikan
atau penerapan nilai-nilai agama dalam layanan bimbingan dan konseling
merupakan suatu keniscayaan yang harus ditumbuh kembangkan.
e. Agar
penerapan nilai-nilai agama dalam layanan bimbingan dan konseling berlangsung
secara baik, maka konselor dipersyaratkan untuk memiliki pemahaman dan pengalaman
agama yang dianutnya, dan menghormati agama klien yang berbeda dengan agama
yang dianutnya.
3. Landasan
Psikologis
a. Masing-masing
individu memiliki karakteristik pribadi yang unik. Dalam arti terdapat
perbedaan individual di antara mereka, seperti menyangkut aspek kecerdasan,
emosi, sosialibitas, sikap, kebiasaan, dan kemampuan penyesuaian diri.
b. Setiap
individu memiliki kebutuhan dan senantiasa dinamik dalam interaksinya dengan
lingkungannya. Disamping itu, individu senantiasa mengalami berbagai perubahan
baik dalam sikap maupun tingkah laku lainnya.
c. Agar
perkembangan pribadi peserta didik itu dapat berlangsung dengan baik, dan
terhindar dari munculnya masalah-masalah psikologis, maka kepada mereka perlu
diberikan bantuan yang sifatnya pribadi. Upaya bantuan yang dapat memfasilitasi
perkembangan peserta didik melalui pendekatan psikologis adalah layanan
bimbingan dan konseling.